Selasa, 13 Juni 2017

MAKALAH FIQIH MUAMALAH "KHIYAR"

KHIYAR 


 Pendahuluan 
Dalam mempelajari ilmu fiqih ada beberapa hal yang penting untuk dikatahui dan untuk dipelajari salah satunya adalah mempelajari muamalah dan cabang-cabangnya serta hukum yang terkandung didalamnya. Karena dengan mempelajari ilmu fiqih maka dapat membantu seseorang dapat memahami apa itu muamalah dalam kehidupan sehari-hari dan secara sempurna. Dalam islam pada hakikatnya Rasulullah diutus ke atas muka bumi adalah sebagai uswat al-hasanat dan rahmat lil-alamin. Semua sunnah Rasulullah saw menjadi panduan utama setelah Alquran bagi berbagai aspek kehidupan manusia terutama aspek pendidikan. Dan salah satu yang dapat terlihat pada diri Rasulillah adalah ketika berhijrah ke madinah, dan salah satu da’wah Rasulullah adalah di pasar. Yang mana pasar itu ditempati para penjual dan pembeli. Maka dari adanya penjual dan pembeli di pasar tersebut, maka terjadilah transaksi jual beli yang melibatkan istilah pilihan terhadap barang yang akan diperjual belikan. Dalam islam istilah pilihan biasa disebut khiyar. Yang mana khiyar ini merupakan salah satu hak yang harus dimiliki antara penjual dan pembeli. Dengan demikian proses jual beli akan berlangsung dengan perasaan aman dan nyaman. Maka dari itu, Rasulullah Mencontohkan kepada setiap manusia yang di muka bumi pada masa-masanya untuk selalu berjalan sesuai syariat yang telah di tentukan aleh Allah SWT.

 Pembahasan 
1. Pengertian Khiyar
             Menurut kamus besar bahasa arab al-munawwir, kata-kata khiyar dapat di jumpai dengan kata-kata “الحيار ولاختيار ‘’ artinya pilihan. Sedangkan ‘’ حر ية‘’ artinya kebebasan memilih dan ‘’احتيارا ‘’ dengan kemauan sendiri serta ‘’ artinya kebaikan dikiuti kata-kata “ الخيرية‘’ berdasarkan kemauan sendiri. Jadi khiyar secara bahasa dapat diartikan ‘’pilihan, kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan sendiri. Menurut istilah yang disebutkan didalam kitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau di urungkan, (ditarik kembali tidak jadi jual beli). Diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli agar dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh. Supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, lantaran merasa tertipu. Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan: أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ. Artinya: hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Pengertian Khiyar menurut ualama fiqih adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, 'aib atau ru'yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta'yin.

 2. Jumlah Khiyar 
           Jumlah khiyar sangat banyak dan diantaranya para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hanafiyah, jumlahnya ada 17. ulama malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian yaitu ‘’khiyar al-taammul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlaq dan khiyar naish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual (khiyar al-hukmy). Ulama malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi menjadi menjadi dua yaitu khiyar at-tasyahi dan khiyar naqishah. Khiyar at-tasyahi yaitu khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transksi sesuai seleranya terhadap barang, baik didalam majlis maupun syarat. Khiyar naqishah yaitu adanya perbedaan dalam lafaz atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian.

 3. Macam-Macam Khiyar
        Dalam menetapkan pembahasan ini, hanya akan dibahas khiyar yang paling masyur saja, diantaranya sebagai berikut ini.
 a. Khiyar Syarat 
 1) Arti Khiyar Syarat 
Menurut ulama fiqih khiyar syarat yaitu: 
اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهُمَاالْحَقِّ فىِ فَسْحِ الْعَقْدِاِوْاِمْضَائِهِ خِلاَلَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ 
Artinya: “sesuatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang aqad atau masing-masing yang aqad atau selain kedua belah pihak yang aqad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan aqad selama waktu yang ditentukan.” 
Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau tipu-menipu bagi pihak yang aqad. Adapaun khiyar syarat ini akan membuat dua macam khiyar yaitu khiyar masyru’ dan khiyar rusak. 
2) Permasalahan Yang Terjadi Pada Khiyar Syarat 
      a) Khiyar masyru’ (disyariatkan) 
              Khiyar masyru’ yaitu khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Adapun dasar khiyar ini    yaitu pada hadits nabi yang diriwayatkan hibban ibn munqid yang menipu dalam jual beli, kemudian perbuatannya itu dilaporkan kepada Rasulullah.
 Lalu beliau bersabda : ذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَخِلَابَة وَلِيَ الْخِيَارُثَلَاثَةَ أَيَّامٍ 
Artinya: jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari.“ (hr. Muslim). 
Batasan khiyar ini menurut ulama hanafiyah, jafar, dan syafiiyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Ulama hanafiyah, jafar berpendapat jika melewati tiga hari, jual beli tersebut batal akan tetapi akad tersebut akan menjadi shahih, jika diulangi dan tidak melewati tiga hari. Imam syafii pun berpendapat bahwa khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual-beli, dan kurang dari tiga hari, hal tersebut adalah rukhshah (keringanan). Ulama hanabilah, khiyar dibolehkan menurut kesepakatan orang yang akad, baik sebentar maupun lama. Ulama malikiyah berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan dngan sesuai kebutuhan. 
       b) Khiyar rusak.
             Menurut pendapat yang paling masyhur dikalangan ulama hanafiyah, syafiiyah dan hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan “ saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya”. Perbuatan ini mengandung unsure tidak jahalah (ketidakjelasan). 
Menurut ulama syafiiyah dan hanabilah, jual beli seperti itu batal. Khiyar sangat menentukan aqad, sedangkan batasanya tidak diketahui, sehingga akan menghalangi aqid (orang yang melakukan akad) untuk menggunakan (tasharruf) barang tersebut. Ulama hanafiyah berpendapat jual beli tersebut fasid, tetapi tidak batal. Sedangkan ulama malikiyah berpendapat bahwa penguasa diharuskan membatasi khiyar secara adat. Sebab khiyar tergantung pada barang yang dijadikan akad. Namun tidak boleh terlalu lama melewati batasan khiyar yang telah ditentukan dengan sesuatu yang tidak jelas seperti mensyaratkan khiyar menunggu turunnya hujan atau sampainya seseorang. 

 b. Khiyar Majlis
 1) Pengertian Khiyar Majlis
Khiyar majlis menurut pengertian ulama’ fiqih adalah 
 اَنْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ الْعَاقِدِيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مُجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَا بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الأَخَرَ فَيُخْتَارُلُزُوْمُ الْعَقْدِ 
Artinya: “hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.” Dengan demikian, akad akan menjadi lazim jika kedua belah pihak telah berpisah atau memilih. Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual beli, upah-mengupah dan lain-lain. 
 2) Pendapat-Pendapat Para Ulama Tentang Khiyar Majlis 
Berkaitan dengan khiyar majlis pendapat para ulama terbagi menjadi dua yaitu: 
1. Ulama hanafiyah dan malikiyah.
              Golongan ini berpendapat bahwa akad menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar sebab Allah swt. menyuruh untuk menepati janji, sebagai mana firmannya : او فوابلعقد Artinya : kamu semua harus menepati janji. Sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut. Selain itu akad tidak sempurna selain adanya keridoaan. Sebagaimana firmannya:       
 Artinya : kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka. (qs. An-nisa’ : 29) Golongan ini tidak mengambil hadits-hadits yang berkenaan dengan keberadaan khiyar majlis, sebab mereka tidak mengakuinya. Adapun hadits tentang khiyar majlis tersebut yaitu: اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا لأِخَرَ أِخْتَرْ Artinya: orang yang berjual beli (penjual dan pembeli) berhak khiyar sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya mengatakan kepada yang lain dengan yang berkata, pilihlah! (hr. Bukhari muslim) Ulama hanafiyah berpendapat yang dimaksud akad pada jual beli tersebut adalah orang yang melakukan tawar-menawar sebelum akad. Untuk berakad atau tidak. Sedangkan kata-kata “berpisah” pada hadits tersebut adalah berpisah dari segi ucapan bukan badan. Menurut wahbah al-juhaili ‘’hadits tentang khiyar majlis pun tidak dapat dikatakan menyalahi keridhaan, sebab khiyar majlis justru untuk memperkuat adanya keridhaan. 
2. Ulama syafiiyah dan hanibilah
            Ulama ini berpendapat adanya khiyar majlis jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan atau saling berpikir.

 c. Khiyar ‘Aib 
Menurut ulama fiqih arti khiyar ‘aib (cacat) yaitu:
 اَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَاءِهِ اِذَاوُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ 
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.” 
Penyebab khiyar aib adalah adanya cacat pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud atau orang yang dalam akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad. Khiyar aib disyaratkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits, salah satunya ialah: 
اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمِ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ أِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ 
“Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada baraang terdapat ‘aib kecuali dijelaskan terlebih dahulu. (HR. ad-Daruqutni dan Abu Hurairah)” 
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara lansung. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat.
 Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar ‘aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada cacat pada barang itu adalah : 
  1. Cacat itu diketahui sebelum atau sesudah akad tetapi belum serah terima barang dan harga atau    cacat itu merupakan cacat lama. 
  2. Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlansung. 
  3. Ketika akad berlansung, pemilik barang tidak mengisyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan, menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah bahwa seorang penjual tidak sah meminta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib. 
  4. Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembataalaan akad. 
Pengembalian barang cacat terhalang disebabkan oleh beberapa hal :
  1.  Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang, baik kerelaan itu ditunjukkan dengan jelas maupun tidak. 
  2.  Hak khiyar itu digugurkan oleh yang memilikinya.
  3.  Benda yang menjadi obyek transaksi itu hilang atau muncul cacat baru disebabkan perbuatan pemilik hak khiyar atau barang tersebut telah berubah total ditangan pemilik hak khiyar.
  4. Terjadi penambahan materi barang itu ditangan pemilik hak khiyar, seperti pembelian tanah dan kemudian diatasnya sudah dibangun rumah. 
                                                                       
 Penutup
 1. Kesimpulan
           Secara bahasa khiyar dapat diartikan ‘’pilihan, kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan sendiri. Sedangkan menurut istilah yang disebutkan didalam kiitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau diurungkan, (ditarik kembali tidak jadi jual beli). Menurut ulama fiqih khiyar syarat yaitu:
 اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهُمَاالْحَقِّ فىِ فَسْحِ الْعَقْدِاِوْاِمْضَائِهِ خِلاَلَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ
Artinya: ’’ sesuatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang aqad atau masing-masing yang aqad atau selain kedua belah pihak yang aqad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan aqad selama waktu yang ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA
 Sura Anta, “Khiyar”, dalam Http://antasura.blogspot.com Syafe’i Rachman, Fiqih Muamalah, Bandung:Pustaka Setia, 2001 Sulaiman, Rasjid, Hukum Fikih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015 Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007 Basyir Azhar Ahmad, Asas-Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII Press, 2

Baca: Tutorial Membuat Program Sederhana

MAKALAH USHUL FIQIH (ISTIHSAN)

MAKALAH USHUL FIQIH (ISTIHSAN) DISUSUN OLEH NURMALINA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU PRODI PERBANKAN SYARIAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Istihsan? 2. Apa macam-macam Istihsan itu? 3. Bagaimana kehujjahan Istihsan dalam Fiqh? 4. Bagaimana pengaruh Istihsan dalam hukum Fiqh? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Istihsan. 2. Untuk mengetahui macam-macam Istihsan. 3. Untuk mengetahui kehujahan Istihsan dalam Hukum Fiqh. 4. Untuk mengetahui pengaruh Istihsan dalam Hukum Fiqh. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istihsan Secara etimologi (lughawi/bahasa) istihsan berarti ?memperhitungkan sesuatu lebih baik?, atau ?adanya sesuatu itu lebih baik? atau ?mengikuti sesuatu yang lebih baik?, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu?.1 Dari arti lughawi diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi kedua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan atau diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan. Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan mengangapnya kebaikan. Menurut Istilah ulama Ushul, istihsan adalah sebagai berikut: 1. Al- Karakhi menerangkan: الْعُدُوْلُ مِمَا حُكْمٍ بِهِ فِي نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ اِلَى خِلاَفِهِ لِوَجْهِ اَقْوَى مِنْهُ Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya ke hukum lain lantaran ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat.2 2. Dikalangan ulama Hanabiah, Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223 M) ahli ushul fiqh mazhab Hanbali, mendefinisikan: الْعُدُوْلُ بِحُكْمِ الْمَسْآَلَةِ عَنْ نَظَائِرِ مَا لِدَلِيْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْ سُنَّةٍ Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat Al Quran maupun dari sunah Rasul. B. Macam-macam Istihsan Ulama Hanafiyah membagi istihsan kepada enam macam, yaitu:3 1. Istihsan bi an-nash Istihsan ini berdasarkan ayat atau hadits, maksudnya ada ayat atau hadits tentang suatu hukum atau kasus yang berbeda dengan kaidah umum.4 Contohnya dalam hal wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Akan tetapi kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah SWT. . مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِي بِهَا اَوْ دَيْن.... ....Setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya....(QS. An-Nisa?:11). Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiat. 2. Istihsan al-ijma? Meninggalkan qiyas pada suatu masalah karena telah terjadi ijma? yang menyalahi qiyas itu. Atau istihsan yang didasarkan kepada ijma?. Contoh yang dewasa ini sering terjadi adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya. 3. Istihsan bi al-qiyas al-khafy Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi. Contohnya dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaily (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memidahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad.5 Menurut qiyas al khafy (qiyas yang tersembuyi) wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian tersebut, seperti hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan tersebut, termasuk ke dalam akad wakaf sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil kedua hukum (qiyas al khafy), maka ia disebut berdalih dengan istihsan. 4. Istihsan bi al- muslahah Istihsan berdasarkan kemaslahatan. Contohnya, ketetentuan umum untuk menetapkan bahwa buruh suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduksinya, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka. Karena mereka hanya sebagai buruh. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik, maka ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh pabrik harus bertanggung jawab atas kerusakan etiap produk prabik itu, baik sengaja ataupun tidak. Adapun ulama malikiyyah mencontohkan dengan membolehkan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. 5. Istihsan bi al-?urf Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.6 Contohnya yaitu dalam maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak airnya dan lama pemandian yang digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai. 6. Istihsan bi adh-dharurah Istihsan berdasarkan keadaan darurat. Artinya ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Contohnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan lainnya. C. Kehujjahan Istihsan Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sabagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara?. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara?. Alasan mereka adalah: 1. Dalam surat az Zumar, 39:55, Allah berfirman: •       Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. 2. Rasulullah dalam riwayatnya Abdullah bin Mas?ud mengatakan: مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal). Ulama Syafi?iyyah, Zhahiriyyah. Syi?ah dan Mu?tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara?. Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi?i, adalah : 1. Hukum-hukum syara? itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur?an atau Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas. 2. Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur?an dan Sunnah.7 Istihsan, menurut Imam al-Syafi?i tidak termasuk dalam al-Quran atau Sunnah. 1. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja . 2. Rasulullah SAW tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. 3. Rasulullah SAW telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka. 4. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.? BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan mengangapnya kebaikan. Beberapa ulama? berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafi?i, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. B. Saran Demikianlah makalah yang telah kami buat. Semoga apa yang kita bahas pada kali ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua. Dan tentunya dalam penyusunan makalah ini tidak luput dari sifat-sifat yang selalu melekat pada manusia, yaitu kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan bersama. Sehingga dalam pembuatan makalah yang selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2011 Majdid Bbd. Ahmad, Ushul Fiqih, Surabaya: Garuda Buana Indah, 1994 Anta Sura, ?Macam-Macam Istihsan?, dalam Http://antasura.blogspot.com Dzajuli, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005 Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2010 Khatib Suansar, Ushul Fiqih, Bogor: Percetakan IPB, 2014 1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2011, h. 324. 2 Ahmad Abd. Majdid, Ushul Fiqih, Surabaya:Garuda Buana Indah, 1994, h. 103. 3 Anta Sura, ?Macam-Macaam Istihsan?, Diakses dari Http://antasura.blogspot.com, 13 Juni 2016, pukul 19.45, h. 7. 4 Dzajuli, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005, h.85. 5 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2010, h.157. 6 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2010, h.161 7 Suansar Khatib, Ushul Fiqih, Bogor: Percetakan IPB, 2014, h. 67. --------------- ------------------------------------------------------------ --------------- ------------------------------------------------------------ Jangan lupa baca artikel menarik yang lainnya ya hanya di https://bunglonmerah.blogspot.co.id

Makalah Tafsir Ekonomi "Riba Dalam Pandangan Alquran"

Download

MAKALAH FIQIH MUAMALAH "KHIYAR"

KHIYAR   Pendahuluan  Dalam mempelajari ilmu fiqih ada beberapa hal yang penting untuk dikatahui dan untuk dipelajari salah satunya a...